Buku Baru Penyair Sembahyang Rumputan
JAKARTA (Litera) – Akan segera terbit dalam edisi Indonesia, buku kumpulan puisi Ahmadun Yosi Herfanda, Surat Cinta Untuk Puan Dunyi. Buku ini pertama kali diterbitkan oleh Ikatan Penulis Sabah (IPS) sebagai Penerima Hadiah Utama Sayembara Manuskrip Puisi K. Bali 2024 yang diselenggarakan oleh IPS Kinabalu, Sabah, Malaysia.
Buku kumpulan puisi setebal 99 halaman ini, edisi Indonesia diterbitkan oleh Taresia Nusantara. Buku ini berisi puisi-puisi Ahmadun Yosi Herfanda yang sebelumnya tercecer di berbagai media dan antologi puisi bersama. Puisi-puisinya dikelompokkan ke dalam tiga bagian masing-masing dengan judul yang menarik. Bagian pertama, Menjelang Pelayaran, berisi 18 buah sajak (2020-2023). Bagian dua, Mengail Matahari, berisi 29 buah puisi (2016-2023). Dan Bagian tiga, Sujud Bunga Rumput, berisi 17 buah puisi (2007-2020).
“Beragam tema puisi yang ditulis Penyair Sembahyang Rumputan ini, mulai dari tema religi (keagamaan), cinta tanah air (patriotisme), kerinduan, kefanaan, sosiobudaya, hingga yang bersifat sufistik,” kata Sofyan RH Zaid, dari Penerbit Taresia Nusantara.
Namun, apapun tema yang diangkat, lanjut Sofyan, senantiasa terasa nuansa keagamaan islamnya. Nuansa inilah yang menjadi “benang putih” semua sajak dalam buku yang telah meraih Penerima Hadiah Utama Sayembara Manuskrip Puisi K. Bali 2024 itu.
Buku ini, menurut Sofyan, akan dijual dengan harga Rp75.000 per eksemplar. Namun, harga pesanan preorder jauh lebih murah, yakni hanya Rp50.000 per eksemplar. Penerbir (Sofyan RH Zaid) melayani pesanan preorder ini dari tanggl 18 April s.d. 18 Mei 2025, atau selama sebulan. “Peminat bisa menghubungi saya di 0811198673,” kata Sofyan. “Buku akan kami kirim ke pemesan paling lambat tanggal 19 Mei 2025,” tambahnya.
Di Malaysia, buku kumpulan puisi ini dijual RM 18.00 per eksemplar. Dalam pengantarnya, penyunting buku edisi Malaysia, Awang Abdul Muizz Awang Marusin, mengatakan Surat Cinta untuk Puan Sunyi menjelaskan pencarian terhadap sosok yang sunyi, atau ruang kosong, yang membawa kepada refleksi jiwa, rasa kehilangan dan harapan untuk menemukan kedamaian batin yang hakiki. “Sejak sajak pertama yang ditulis tahun 2005, banyak pencarian yang penulis lakukan, terutama mencari cinta Ilahi yang hakiki guna menerusi perjalanan hidup di dunia ini, katanya. @ Red/Pariwara